Refleksi 24 Tahun KMHDI : Polarisasi Politik Indonesia
Selamat ulang tahun KMHDI ke-24, Sebagai sebuah ungkapan terima kasih terhadap organisasi, dan alumni yang meletakkan dasar ideologi untuk selalu diteruskan dengan tongkat estafet kaderisasi.
Polarisasi Politik Indonesia
Tahun ini Politik menjadi salah satu aspek di Indonesia yang paling mengganggu saya belakangan ini, kata yang menurut saya paling tepat untuk mendeskripsikan keresahan tersebut adalah fakta bahwa politik Indonesia kini sedang terjadi “POLARISASI”.
Bernie Sanders (Politisi Amerika, yang bersaing dengan Hilary Clinton di pemilihan Partai Demokrat) 14 tahun lalu pernah menjelaskan bahwa salah satu strategi Partai Republik dalam demokrasi di Amerika adalah mencoba untuk membelah kubu menjadi dua kutub yang sangat bersebrangan. Tujuan dari membelah kubu adalah untuk mendapatkan kepastian secara statistik, serta penguatan basis yang akan menarik “Pemilih Suara” dimana pemilih hanya akan dihadapkan pada dua pilihan yang amat bersebrangan.
Maka munculah issue “Hitam” dan “Putih”, “Patriot” dan “Cinta Damai”, “Mayoritas” dan “Minoritas”, “Imigrant” dan “Lokal” dimana media berperan aktif dalam mensosialisasikan sehingga membuat kita dipaksakan untuk memilih salah satu. Hal tersebut menjadikan politik sebagai sebuah pilihan mutlak berdasarkan latar belakang, baik itu ras, agama, asal, dan bukan lagi menjadi sebuah diskusi mengenai kebaikan bersama.
Indonesia tahun ini juga disajikan polarisasi kubu antara “Islam” dan “Pluralis”, dan saya yakini sampai dengan pemilihan Presiden Indonesia 2019, kedua polarisasi tersebut akan tetap menjadi kubu bersebrangan dan akan selalu dihubungkan satu sama lain. Jika kita ibaratkan kedua polarisasi tersebut sebagai sebuah Product, kedua product tersebut kini sudah lengket di keseharian kita dengan Brand Equity dan Brand Element yang sangat kuat.
Coba saja hubungkan “Putih” dan “Kotak-kotak” bahkan dari dua simbol tersebut saja kita bisa mengetahui kedua hal tersebut diasosiasikan mengenai apa. Faktanya lagi, kedua polarisasi tersebut membawa kita kepada konten bersebrangan yang lain seperti “Modern” versus “Konservatif”, “Orde baru” versus “Orde lama”, “PKI” versu “Pancasila” dan kontennya semakin bertambah dan menguat terhadap kedua polarisasi tersebut, sehingga benar-benar membelah masyarakat menjadi dua kubu yang sangat bersebrangan.
Penguatan polarisasi ini serta kecintaan kepada masing-masing kubu, semakin menguat dengan Social Media sebagai katalisator. Faktanya seperti supporter garis keras yang liganya hanya dihuni oleh dua tim, kecintaan kita terhadap tim yang kita bela ditunjukkan melalui kebencian akan tim yang bersebrangan. Dan social media menjadi sarana yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan ekspresi dan pengakuan tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini suatu reaksi yang alamiah atau memang ini sudah dirancang sebagai sebuah politik international?
Untuk kondisi tersebut pendapat saya adalah, hal ini alamiah dan merupakan kelemahan dari Sistem Politik Demokrasi, karena jika kita menaruh Rakyat sebagai dasar keputusan, maka kecenderungannya adalah jumlah suara menjadi lebih penting dibandingkan objective konstitusi lembaga atau negara.
Apakah itu artinya saya menolak demokrasi?, TIDAK. Saya masih meyakini dan menyetujui, Demokrasi adalah cara terbaik dalam mencapai kebijaksanaan dalam bernegara secara menyeluruh, akan tetapi yang perlu digaris bawahi, kita harus akui bahwa Demokrasi yang menitik beratkan pada rakyat, memiliki kelemahan dan kekurangan, dimana hal tersebut harus kita sadari. Karena jika hal tersebut tidak kita sadari, maka justru kelemahan tersebut akan dimanfaatkan hanya oleh kepentingan golongan dan kekuasaan, yang faktanya membuat kita semakin menjauh dari cita-cita kebangsaan.
Menyikapi hal tesebut, dan issue polarisasi yang disebutkan sebelumnya pendekatan yang bisa dilakukan paling utama adalah “Pendidikan Politik”. Saat ini pendidikan politik, dan kewarganegaraan harus diaktualisasi dan diperkuat kontennya, memang terkesan abstrak, akan tetapi pendidikan politik adalah syarat utama jika kita ingin melaksanakan Demokrasi, dimana output utamanya adalah pendewasaan cara berpikir kebangsaan secara menyeluruh.
Peran utama untuk pendidikan politik tersebut adalah “PARTAI”, Partai Politik sebagai pembuat kebijakan, tentu menawarakan inovasi dan perbaikan terhadap kualitas kebijakan. Hal ini hanya bisa terjalin jika ada kompetisi sehat dan customer yang teredukasi dengan baik. Pemilih dalam hal ini sebagai customer dari partai politik, tentu harus kritis dalam melihat hal tersebut, sehingga menuntut partai untuk menjadi lebih baik dalam membuat kebijakan-kebijakan, mengedukasi masyarakat sangat penting agar terlaksananya demokrasi yang ideal.
Karena ketika partai tidak bisa menaruh pendidikan politik sebagai fundamental aktivitasnya, maka rakyat tentu tidak akan pernah diberikan pemahaman untuk apa dasarnya partai tersebut didirikan, sehingga kekuasaan dan uang yang akan menjadi satu-satunya GOAL.
Lain daripada itu, entah berada di kubu “Islam” ataupun “Pluralis”, kita kini berada di satu perahu Indonesia, duduk bersama dan mencari solusi yang mengakomodir kepentingan bersama tentu harusnya menjadi focus utama sebut saja kesejahteraan, keadilan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan Lingkungan.
Mewujudkan masyarakat yang dewasa dalam berkebangsaan tentu akan melahirkan demokrasi yang ideal, dan pembangunan akan terakselerasi dengan sangat significant. Tentu kita berpikir, masih jauh hal tersebut untuk dicapai, akan tetapi tentu hal tersebut tetap menjadi mimpi yang sangat layak untuk diperjuangkan bersama, menjadi harapan yang menyalakan pijar-pijar demokrasi yang telah dicita-citakan oleh para founding nation ini.
Arie Suyasha / Ketua Dept. Litbang PP KMHDI 2012-2014
Sumber: https://kmhdi.org/2017/10/refleksi-24-tahun-kmhdi-polarisasi-politik-indonesia/